Tuesday, August 24, 2010

Minta Disebut Mas, Lebih Njawani

[ Senin, 16 Agustus 2010 ]

DI antara situs petilasan penyebaran Islam di Surabaya, ada Makam Dresmo. Di kompleks makam yang berada di RT V, RW II, Kelurahan Sidosermo, Kecamatan Wonocolo, tersebut, disemayamkan tokoh pejuang Islam Surabaya Assayyid Ali Ashghor Basyaiban. Dari silsilah yang terpampang, Ali Ashghor keturunan ke-28 Nabi Muhammad SAW.

Makam Ali Ashghor cukup teduh. Puluhan pohon kemboja tumbuh rimbun. Makam Ali Ashghor terletak di bagian tegah yang dikelilingi tembok putih setinggi satu meteran. Di dalam tembok tersebut, juga turut dimakamkan keluarga besar Ali Ashgor. Mulai anak, cucu, hingga cicitnya.

Jawa Pos kemarin (15/8) berkesempatan berbincang-bincang dengan Mas Abdullah bin Muhajir bin Mansur bin Toha bin Muhammad Baqir bin Mujahid bin Ali Ashgor. Jika dihitung, Mas Abdullah adalah generasi keenam dari nasab Ali Ashgor. Sebutan Mas itu adalah peninggalan yang sudah diturunkan Ali Ashgor semasa hidupnya. ''Sebagai keturunan Arab harus njawani,'' jelas Mas Abdullah.

Dari penjelasannya, jejak Ali Ashgor dimulai dari seorang kiai Gujarat yang bernama Syaid Umar. Dia memiliki putra yang bernama Abdur Rahman. Dalam perjalanannya, Abdur Rahman menetap di tanah Jawa. Lalu, dia dinikahkan dengan Syarifah, putri Sunan Gunung Jati. ''Cerita ini ada di kitab Samsu Dhohiro,'' papar Mas Abdullah.

Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai anak yang bernama Sulaiman yang sekarang dimakamkan di Mojo Agung, Mojokerto. Sementara itu, Syarifah dimakamkan di kompleks pemakaman Taman Bungkul. Makam Abdur Rahman masih belum diketahui.

Dari Sulaiman, lantas lahir Ali Akbar dan Iskandar. Ali Akbar adalah ayah Ali Ashghor. Ali Akbar hilang tanpa jejak saat diasingkan penjajahan Belanda. Dia hilang ketika Ali Ashghor masih bayi. Sementara itu, Iskandar dimakamkan di kompleks pemakaman Taman Bungkul.

Mas Abdullah menjelaskan, penyebutan Mas untuk orang laki-laki yang sekarang tinggal di Dalem Dresmo dimulai saat keberadaan Sulaiman. Keterangan tersebut didapat Mas Abdullah dalam buku Orang-Orang Arab yang Pribumi. Saat itu, Sulaiman mendapat pesan dari Abdur Rahman -ayahnya- supaya tidak menggunakan sebutan syekh yang terkenal saat itu. ''Supaya bisa berbaur dengan warga pribumi dan tidak terendus penjajah'' tutur Mas Abdullah.

Budaya memanggil dengan sebutan Mas itu masih berlangsung hingga sekarang. Setiap pria yang lahir di keluarga Dalem Dresmo dipanggil warga sekitar dengan sapaan Mas. Berapa pun usia mereka. Di Dresmo, ada Dresmo dalem dan Dresmo jobo. Dresmo dalem adalah keturuan Ali Ashghor. Sedangkan, Dresmo jobo adalah warga luar keluarga.

''Tapi, tidak ada sekat. Kami hidup berdampingan,'' ungkap Mas Abdullah. Tapi, selama ini mereka masih dijaga adat lama, yaitu keluarga Dresmo dalem yang perempuan tidak pernah menikah dengan pria Dresmo jobo. Tidak berlaku sebaliknya, masih ada pria dari Dresmo dalem yang menikah dengan perempuan dari Dresmo njobo. Itu dilakukan untuk menjaga keturunan.

Sementara itu, makam Kiai Dresmo atau Ali Ashghor cukup ramai. Baik oleh peziarah dari luar maupun santri yang mondok di kompleks pondok Sidosermo atau Dresmo. Saat ini, total ada 20 pesantren di tempat tersebut. Yang paling besar dan berkembang mendirikan sekolah formal adalah Pondok At Tauhid dan Pondok An Najiyah. (wan/c6/mik)

sumber: http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=150620

No comments: