Sunday, August 22, 2010

Menjelajah Masjid-Masjid Berarsitektur Khas Jawa di Jogja

[ Minggu, 22 Agustus 2010 ]

Tersentuh Bukti Toleransi di Gerbang Padureksa

Wisatawan yang berkunjung ke kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Kotagede tentu melewati Masjid Kotagede. Tapi, mereka biasanya melewatkan begitu saja bangunan tersebut. Sayang, sebetulnya. Sebab, masjid itu merupakan bangunan Islam tertua di Jogja.

Arfiana Khairunnisa, Jogja

---

Ada yang bilang Masjid Kotagede dibangun Panembahan Senopati, leluhur raja-raja Jogjakarta dan Surakarta, pada akhir abad ke-16. Tapi, banyak juga yang yakin masjid tersebut dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1640-an. Yang disepakati, masjid di Desa Jagalan, Banguntapan, Bantul, tepat di selatan Pasar Kotagede, itu merupakan bangunan tempat ibadah Islam tertua di Jogja.

Tak seperti masjid patok negara yang berciri pohon sawo kecik di halamannya, pohon yang langsung terlihat di Masjid Kotagede justru beringin raksasa. Warga setempat menyebutnya waringin sepuh. Beringin yang konon ditanam Sunan Kalijaga itu memang telah berusia ratusan tahun.

Dari halaman tempat beringin tua itu berdiri, tampak sebuah gapura. Persis di depan gapura tersebut ada tembok berbentuk L dengan beberapa pahatan lambang kerajaan.

Sebelum memasuki Gapura Padureksa yang menuju masjid, di kiri-kanan jalan berjajar rumah tradisional yang disebut Dondhongan. Di sanalah para abdi dalem Keraton Jogjakarta dan Surakarta tinggal. Saat ini, Dondhongan dihuni 35 abdi dalem Keraton Jogjakarta dan 20 abdi dalem Keraton Surakarta.

Memasuki Gapura Padureksa, hiasan Kala di atas gapura seolah langsung menelan kita. Sulit membayangkan gapura itu merupakan pintu masuk ke masjid. Sebab, gapura tersebut berhias patung buta (raksasa) khas gapura di candi-candi Hindu dan Buddha.

Tapi, itulah keunikan Masjid Kotagede. Gapura dan pagar yang mengelilingi masjid tersebut memang sengaja mengakomodasi budaya Hindu dan Buddha. Konon, itu merupakan wujud toleransi Sultan Agung kepada warga pemeluk Hindu dan Buddha yang ikut membangun masjid tersebut.

Memasuki halaman masjid, terlihat prasasti setinggi sekitar tiga meter dengan mahkota lambang Kasunanan Surakarta di puncaknya. Prasasti itu menunjukkan bahwa Raja Kasunanan Surakarta Paku Buwono X ikut membangun masjid tersebut. ''Bagian masjid yang dibangun Sultan Agung bertiang kayu, sedangkan yang dibangun Paku Buwono bertiang besi,'' kata Hastono Darwinto, salah seorang abdi dalem yang menemani penulis.

Bangunan inti masjid berbentuk limasan khas Jawa. Yakni, atap berbentuk limas dan ruangan terbagi menjadi inti serta serambi. Untuk masuk ke bangunan inti masjid, jamaah harus menyeberangi parit yang mengelilingi masjid. ''Dulu, parit itu merupakan saluran untuk mengalirkan air wudu di sebelah utara masjid. Kini, warga memperbaiki parit tersebut dan memanfaatkannya untuk memelihara ikan,'' tutur Darwinto.

Yang paling menarik minat wisatawan, tak pelak, adalah kompleks makam di sisi selatan masjid. Kompleks itu terbagi menjadi tiga bagian. Yakni, Prabayaksa di depan, Witana di tengah, dan Tajug di belakang. Bangunan Prabayaksa dikelola Keraton Surakarta, sedangkan bangunan Witana dan Tajug dikelola Keraton Jogjakarta.

Di sana ada makam Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Sedo ing Krapak, Kanjeng Ratu Kalinyamat, Kanjeng Ratu Retno Dumilah, Nyai Ageng Nis, Nyai Ageng Mataram, Nyai Ageng Juru Mertani, dan Datuk Palembang. (isa/jpnn/c5/soe)


sumber : http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=151703

1 comment:

Fian Khairunnisa said...

Salam Mas Capung,

Trims banyak sudah memuat tulisan saya di blog Anda. Semoga bermanfaat ya... :)

salam,
Fian