Sunday, August 22, 2010

Lima Masjid Pathok Negara di Empat Penjuru Mata Angin

[ Minggu, 22 Agustus 2010 ]

Sebagai periode akhir kerajaan Islam di Jawa, Kasultanan Jogjakarta memiliki sederet masjid kagungan dalem. Selain Masjid Agung Kauman di sebelah barat Alun-Alun Utara Jogja yang dikenal sebagai masjid kerajaan, setidaknya ada lima masjid pathok negara yang tersebar di empat penjuru mata angin.

Yakni, Masjid Mlangi di barat, Masjid Babadan di timur, Masjid Plosokuning di utara, serta Masjid Nurul Huda Dongkelan dan Masjid Wonokromo di selatan. Ada yang bilang, Masjid Agung Kauman dan masjid patok negara di empat penjuru mata angin itulah yang disebut kiblat papat lima pancer.

Selain arsitekturnya yang mirip Masjid Agung di Kauman, masjid-masjid patok negara itu menjadi pusat keagamaan di empat penjuru Jogja. Ada pesantren atau sekolah keagamaan di masjid yang abdi dalem pamethakan itu. Masjid patok negara juga khas karena tidak dijumpai di Keraton Surakarta.

Arsitektur masjid patok negara khas Jawa ditandai dengan atap tumpang gasal, denah bujur sangkar atau persegi panjang, dengan batur lebih tinggi daripada daerah sekitarnya. Ciri lain, ada serambi, ruang pawestren, mihrab, mimbar, beduk, dan kentongan. Umumnya juga dilengkapi maksura sebagai tempat salat raja. Di masjid itu juga ada kolam keliling.

Bila Bandara Adisucipto dijadikan titik berangkat, Masjid Babadan paling dekat. Hanya perlu sepuluh menit untuk mencapai masjid itu dari bandara. Sekilas, Masjid Babadan tak berbeda dari masjid modern, kecuali mustakanya yang khas arsitektur Jawa, berbentuk gada dan terbuat dari tanah liat. Kolam yang menjadi ciri khas masjid patok negara sudah ditutup, saat itu dipugar pada 1990.

Yang mungkin istimewa, masjid tersebut ternyata pernah ''bedhol desa'' dari Desa Babadan, Banguntapan, ke Babadan Baru, Gedongkuning. Bedhol gedung itu terjadi pada 1943, saat pendudukan Jepang. Saat itu, Jepang ingin membangun lapangan udara di Babadan, Banguntapan, Bantul. Warga dipaksa mengosongkan wilayah tersebut.

Masjid yang dibangun pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I (1775-1871) itu ikut ''bedhol desa'' bersama warga kampung. ''Bagian masjid asli yang diangkut meliputi empat saka (tiang penyangga) yang terbuat dari jati hingga ke atap, termasuk usuk dan blandarnya,'' tutur H M. Badarudin, salah seorang tokoh masyarakat.

Mustaka masjid, kentongan, dan beduk masjid juga diboyong. Menakjubkan melihat betapa bagian-bagian asli itu, kecuali atap yang sudah melapuk dimakan usia, masih terpelihara dengan baik hingga kini. (isa/jpnn/c5/soe)


sumber : http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=151702

No comments: