Thursday, December 25, 2008

Nama saya di suatu Media :)

Tulisan ini berupa liputan kegiatan yang berlangsung selama APRIM di Bali.


Belajar Astronomi Itu Menyenangkan

Ayu Sulistyowati (Kompas)

Seorang pelajar perempuan mencoba memejamkan mata kanannya. Mata kirinya dirapatkan pada bibir lensa sebuah teleskop. Seorang pemandu pun membimbingnya untuk melihat Jupiter, Jumat (29/7) malam di tepian pantai Nusa Dua, Bali.
Sayangnya, langit malam itu tidak terlalu cerah. Malam itu awan mendung seolah menelan bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Namun masih ada yang tersisa, yaitu Jupiter dan sebuah rasi bintang di selatan, rasi bintang Scorpius.
"Bagaimana? Jupiter sudah terlihat?" kata Ayu, mahasiswa semester tiga Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), yang memandu pelajar perempuan tersebut.
"Wow," kata pelajar itu kagum, dengan mata kirinya masih mengintip dari lensa teropong.
Puluhan pelajar malam itu berkumpul di Nusa Dua dalam acara pesta bintang. Namun, pesta itu bukan seperti sebuah pesta dengan makanan, minuman, atau ingar-bingar musik, melainkan pesta para astronom pada penutupan pertemuan astronom Asia-Pasifik 2005. Para astronom itu mengajak para pelajar menikmati keindahan tata surya.
Mereka ditawarkan memandang indahnya langit ciptaan Tuhan dengan tujuh teleskop yang khusus didatangkan dari Observatorium Bosscha Lembang, Bandung, dan Planetarium Jakarta.
Bagi para pelajar di Bali, melihat planet, menghitung diameter Matahari, hingga menemukan rasi bintang dari utara dan selatan sambil mengawasi perubahan langit dengan teleskop ternyata menyenangkan. Mereka merasa mendapatkan pengalaman baru. "Sebelumnya kami hanya mengenal planet dan tata surya di buku pelajaran saja. Sekarang saya bisa melihatnya lewat teropong beneran!" kata Ni Komang Hariningsih.
Selain mendapat kesempatan berpesta bintang dengan para astronom, para pelajar itu secara bergantian mendapat sosialisasi dari mahasiswa dan alumni astronomi ITB serta Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ). Sosialisasi dipusatkan di Gedung SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 4 Denpasar.
Di antara para pelajar terdapat beberapa guru sebagai pendamping mereka. Salah satu guru tersebut adalah I Wayan Sentana (42), guru Geografi di SMA Negeri 2 Mengwi, Kabupaten Badung, yang merangkap di tiga SLTA swasta di Denpasar dan Tabanan.
Meski Wayan Sentana seorang guru Geografi, ia mengungkapkan rasa senangnya dapat melihat secara langsung langit dengan menggunakan teleskop. "Di sekolahan tempat saya mengajar di Mengwi, ada dua teleskop dengan model lama, tetapi sudah rusak dan karatan. Sayang sekali," kata Wayan. Ia pun mengeluhkan susahnya mendapatkan buku-buku astronomi.
Meskipun demikian, Wayan mampu mengantarkan Suta Wisnawa, murid kelas II, didikannya, menjuarai Olimpiade Astronomi 2005 Tingkat Kabupaten Badung. Padahal, ia hanya berbekal buku terbitan tahun 2001 dan beberapa pelajaran yang terkait dengan astronomi.
Pengalaman menyenangkan dengan astronomi dialami Yudhiakto Pramudya. Pria berusia 25 tahun itu sudah bergabung dengan HAAJ selama lima tahun. Sebelumnya ia hanya bisa membayangkan sambil memandangi langit penuh bintang.
Dengan astronomi, Yudhiakto mengaku dapat belajar logika lebih tajam dan memberikan contoh-contoh fisika kepada teman-teman dan adik angkatan di jurusannya. "Senangnya itu ada di hati ketika melihat pemandangan langit dan itu tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata," ujarnya.
Hingga saat ini anggota HAAJ sekitar 100 orang dan yang aktif sekitar 20 orang. Anggotanya pun mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari ibu rumah tangga, anak SD, hingga sarjana (selain astronomi). Dari jumlah anggota tersebut, yang memiliki teleskop dapat dihitung dengan jari.
Ketua Organizing Committee The 9th Asian-Pacific Regional International Astronomical Union Meeting dan pengajar di ITB Premana W Premadi mengatakan mendukung upaya memajukan bidang astronomi melalui populerisasi kepada pelajar dan mahasiswa.
Menurut dia, Indonesia perlu mengembangkan astronom-astronom amatir. Dari astronom amatir, para astronom dapat berbagi pengalaman dan memanfaatkan ketertarikan mereka dalam penelitian. Bagi dia, astronom di negara berkembang pun tidak akan pernah maju jika hanya berkutat dan meratapi ketidakmampuan membeli peralatan yang sangat mahal untuk kepentingan penelitian.
Justru para pelajar dari Indonesia, Jepang, dan Korea dapat menjadi contoh elan pengembangan di bidang astronomi dengan alat yang sangat sederhana sekalipun. Jangan salah, teleskop yang paling sederhana pun dapat dibuat sendiri. Bahan baku pipa paralon, lembar film bekas, karton, bambu, atau kayu untuk tiang penyangga dapat dijadikan sebuah teleskop. Teleskop sederhana itu biasa disebut teleskop jarum, berguna mengukur diameter Matahari.
Bahkan untuk membuktikan warna-warna mejikuhibiliu dari pelangi pun bisa dengan alat sederhana. Persiapkan saja karton, disesuaikan dengan pola, kepingan CD bekas, maka jadilah sebuah alat eksperimen warna pelangi.
"Jadi, bukan berarti kami tidak bisa apa-apa tanpa alat sekalipun kami hanya astronom amatir," kata Yudhiakto semangat.
Premana menjelaskan, pemberdayaan astronom amatir tersebut merupakan upaya memacu penelitian di bidang astronomi. Selain itu, juga untuk mengubah pandangan bahwa ilmu astronomi tidak menarik atau tidak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Potensi terdekat mengembangkan pendidikan dan populernya bidang astronomi adalah sosialisasi kunjungan ke sekolah-sekolah.
"Asalkan seluruh materinya tidak menyimpang dan disesuaikan dengan kurikulum yang berjalan di SLTP dan SLTA," ujar Premana.
Langit pada pukul sepuluh malam itu mulai mendung dan tak ada lagi kerlip bintang terlihat. Alat-alat teleskop pun mulai dibereskan. "Sayang malam ini mendung terlalu cepat menutupi bintang dan Jupiter," kata seorang pelajar sambil melangkah berlalu bersama beberapa teman lainnya.
Sumber : Kompas (1 Agustus 2005)

1 comment:

Amrizal said...

cie yang masuk koran, pake dibold tebel segala. Gwe biasa aja kok masuk harian ibukota (Lampu Merah hehehehe)